Biarlah Senja Merindu

(By: Violyn Stevan)

{Part 1} 

Sayup-sayup lantunan Al-Qur’an terdengar sampai kantor. Lampu-lampu di masjid pesantren pun mulai dinyalakan. Cahayanya menerpa wajah-wajah khusyuk para santri. Karena jamaah disini perempuan semua, serta yang mengimami adalah para ustadzah, ada sebagian dari mereka yang bergegas berebut shaff paling depan, shaff paling utama. Aku memandang mereka dari jendela kantor. Sore ini aku masih disibukkan dengan kegiatanku, yaitu menatap layar komputer. Aku sedang menyiapkan soal ulangan tengah semester untuk anak-anak didikku. Kebetulan mata pelajaran lumayan banyak.  

“Hufthh”, keluhku. 

Dari matahari belum terbit sempurna sampai hampir menghilang di ufuk sebrang sana, Aku masih saja melototi screen komputer. Kubuka file satu persatu untuk melihat soal ulangan-ulangan sebelumnya. Tanpa sengaja, aku membuka sebuah file diary punyaku dulu. Aku sedikit terkejut, karena kumengira bahwa file tersebut sudah terhapus.  

‘Saat senja hiasi bumi’.  

‘Saat semua cinta berlabuh, cinta ini tak kubiarkan berlabuh, biarkan ia menggembara jauh. Ku sungguh bermaksud tuk setia, meski ku tak tahu akankah waktu bertahan tuk menjaganya? Tapi sungguh ia adalah siksaan yang manis… namun ku terlalu takut tuk merasakannya. 

Ilahi… berikan waktu untukku, jangan Kau berikan kenangan senja terindah itu tersiksa, diri ini telah merasakan bagaimana tersiksa oleh rindu yang menyelubungi hati.  

Namun ku juga tak tahu, apakah aku terlalu takut merasakannya. Karena realitanya hidup ini lebih kejam, yaitu tega mengorbankan segalanya untuk suatu hal yang sebenarnya tak berarti. Padahal, sejujurnya ku tak mengerti dan tak habis pikir mengapa senja kala itu berbeda dengan lain.’ 

‘Satu kata untukmu, tapi entah siapa… Atau mungkinkah dia itu kamu?’  

Tiba-tiba aku menyimpulkan sesuatu ‘hai senja, apa kabar? Ah sudahlah, biarlah kamu merindu…’ 

Aku pun tersenyum pilu, ‘mungkinkah itu kamu?’ 

“Ustadzah Lina!!!”, seru seseorang. 

Tetapi aku tidak menggubrisnya. Karena aku tahu, pasti dia Ustadzah Alba. Temen seperjuanganku mengabdi disini. Dia tak lain adalah si gadis sulung yang cerewetnya kayak induk ayam kehilangan anaknya. 

“Lina! Itu kuping apa reting apa centelan ceting sih??! Orang dipanggil dari tadi loh gak nyahut dari tadi!?!”, bentak Alba.  

“Terserah lu!” Sahutku malas.  

“Eh Lina! Mau kemana?” Tanyanya kemudian.  

“Ke Mixue!, ya balik ke kamarlah, aneh lu!” 

“Ke Mixue? Emang punya uang?!” 

Aku pun telah berlalu dari Alba.  

Kulirik arlojiku sekarang jam setengah enam, sebentar lagi adzan di seluruh penjuru Klaten akan berkumandang.  

                                                      ∘₊✧─♡─✧₊∘ 

Dingin malam ini begitu menyekat. Segera kukenakan jaket yang sedari tadi menggantung di pintu. Tempat pengabdianku sini memang bisa dibilang terlalu sederhana. Ruangan yang sempit membuat udara disini pengap. Walaupun begitu, hawa dingin Klaten tetap pemenangnya.  

“Udah makan apa belum?”, tanya Anisa, temen pengabdianku yang cukup kalem.  

“Aku nggak makan ajalah”, jawabku.  

Kamu kenapa lin? Dari tadi murung?, tanyanya lagi.  

“Enggak kenapa-napa kok, aku tuh lagi pusing!”, sahutku.  

“Oiya, dari tadi kamu nyelesain soal ulangan ya?”, tanyanya lagi, dan padahal dia sudah tahu jawabannya.  

“He’em”, sahutku cepat.  

“Oiya, ngomong-ngomong setelah pengabdian dia tahun ini kami mau ngapain?” tanyanya lagi dan lagi. Mungkin bocah satu ini lagi gabut.  

“Emm, aku belum begitu mikirin sih, cuman aku udah ada niat mau ngajar madrasah di daerahku”, jawabku.  

“Hehe lin, aku mau jujur nih, tadi kamu lupa menutup file-mu ya?” tanya Anisa mesem.  

“What?! Iya! Terus?”, seruku dengan terkejut.  

“Ya terus aku bacalah!”, ketusnya.  

“Ih kok gituh?!” sanggahku.  

“Hehe, sori lin, dari tadi aku gabut nih, kan tugas kuliahku dah selesai semua, jadi Aku gak punya kerjaan apa-apa. Di ponpes sini aja aku cuman nyimak hafalan. Sori ya!”, ujarnya.  

“Aku malulah nis!”, seruku.  

“Be aja sama aku, aku kan bestimu!, oiya kamu tega ya, membiarkan sang senja merindu!”, tegasnya.  

“Lah emang kenapa?”, tanyaku keheranan. 

“Haha, enggak papa sih, kisah orang-orang tuh lucu-lucu aja!”, ketusnya lagi.  

“Lucu gimana maksudnya?”, tanyaku binggung.  

“Hemmmm, kalo aku sendiri aja, masih nyari pengganti buat nenangin luka mantanku dulu!”, seru Anisa.  

“Jangan memakai seseorang untuk ngelupain seseorang, inget itu! Gak baik nis!”, tegasku.  

“Hah? Gituh ya?!”, kejutnya.  

Dering ponsel menghentikan keasyikanku bercengkrama dengan Anisa. Sebuah pesan tiba-tiba bermunculan dengan banyaknya. Dengan malas aku meraih ponselku kudapati nama Amarr di sana. Sungguh, melihat namanya saja aku sangat geram. Mataku seketika lowbat. Entah sejak kapan aku begitu bahagia saat Amarr menelepon ataupun sekedar memberiku pesan. Entahlah mungkin sejak awal aku disini. Sekarang aku tahu bahwa aku salah memilih diriku sendiri untuk menjadi penggagum beratmu mar!. Seketika kuheningkan notifikasi di hapeku.  

“Siapa? Amarr lagi?”, tanyanya menebak. Jawaban Anisa sangat benar.  

Aku hanya mengangguk.  

“Tuh bocah ngapain sih?”, bentaknya tiba-tiba.  

“Gak tau! Males aku meladeni!”, keluhku.  

“Tapi dulu kamu suka Amarr kan lin?” 

“Itu masalalu kelam, cuman sekarang aku kek males gituh sama dia, bener kata omku tau!”, ujarku yang tiba-tiba ingat sesuatu.  

“Apaan?”, tanya Alba yang seketika nongol di siang bolong. Eh, padahal ini udah malem deng.  

“Satu-satunya hubungan yang dijamin tidak akan membuatmu tersakiti adalah hubungan yang terjalin antara kamu dan Allah.” Seruku. 

“Ya sejatinya kan, kalau cinta berlandaskan karena Allah, bakalan cinta itu menuntun kita untuk menjadi pribadi yang lebik baik lagi! Iyakan?” 

“Sip-sip!”, sahut Alba cepat sambil merogoh permen di sakunya.  

“Bener, aku setelah kenal Amarr pun aku merasa ibadahku menjadi buruk. Sholat sunnah, dluha, tahajud sholat dua rakaat sebelum shubuh pun jadi malas kukerjakan. Yang dipikiranku hanya dia, dia, dan dia. Dan padahal semua janjinya tuh janji palsu, bikin aku illfeel lah intinya!”, kataku panjang kali lebar.  

“Yaudah, sekarang kamu coba aja deh hargain perasaan si Gavin, dia kan MasyaAllah banget! Mantan Gangster tapi sekarang udah tobat!”, ujar Anisa.  

“Emmmm… “ 

“Lin, udah deh! Hargain aja lah! Dia loh tulus suka sama kamu!”, seru Alba.  

“Tapi dia pernah suka sama kakakku sendiri!”, jawabku.  

“Semua orang pernah suka kali lin, bahkan seorang kamu aja pernah suka! Iyakan? Terus apa salahnya?”, tanya Anisa memastikan.  

“Ya maksudku, dia aja suka sampek viral gitu di pondok!”, sanggahku.  

“Itu udah masalalu buat dia lin, kenapa kamu mengungkitnya lagi? Dia aja mungkin sudah moveon, karena mungkin taqdir terbaiknya kan kamu?”, seru Anisa.  

“Sejujurnya aku gak kenal siapa Gavin, tapi aku denger dari siapapun kalau dia orangnya baik sih!”, kataku.  

“Tuhkan! Gavin loh ketua silat! Keren kan dia?!”, celetuk Alba lagi.  

“Aku gak nyari keren atau apanya nis, zaman sekarang orang keren banyak, tapi yang benar-benar mau njadiin seorang perempuan menjadi seorang ratu tuh udah langka banget! Tapi, begitu pula sebaliknya sih!”, seruku.  

“Ya makanya kamu minta yang terbaik buat kehidupan dunia maupun aakhiramu lin!”, seru Anisa juga.  

“Iya deh nis!”, ucapku.  

                                                          ∘₊✧─♡─✧₊∘ 

“Wahai para jamaah sekalian, dosa itu menghambat rezeki loh ya. Maksiat pun juga membuat kita mendapat berbagai masalah dalam kehidupan. Misalnya yang pertama, kalau kita sering susah menghindari hawa nafsu, maka perbaikilah hubungan kita dengan sholat, yang kedua kalau hati tidak tenang dan keras, maka perbaikilah hubungan kita dengan orang tua kita nggeh, yang ketiga, kalau kita sering merasa tertekan, maka perbaiki hubungan kita dg al-quran, dan menurut saya yang terakhir adalah kalau hati kita sedang gelisah, itu mungkin karena kita gak mau nerima nasehat!”, ucap salah satu ustadz favoritnya para ciwi-ciwi di pondokku.  

Ting!!!  

Seketika, saat aku sedang khusyuk mendengarkan ceramah seseorang yang kini ku jadikan ia senjaku, tiba-tiba ada notifikasi dari instagram.  

“Eh, Alba!”, sapaku.  

“Apa lin?”, tanyanya.  

“Ini ada akun orang ngikutin aku! Siapa sih dia?”, tanyaku heran.  

“Habibullah? Kek kenal?!”, seru Alba.  

“Ada apa ges? Eh lin, kamu baru aja download instagram, pengikutmu udah banyak banget! Kamu beli followers ya?!”, ucap Anisa.  

“Aku tahu-menahu tentang instagram aja enggak!”, keluhku kesal. Anisa ada-ada saja.  

“Eh, itu ada foto di postingannya kan?”, kata Alba sambil scroll instagram di layar hapeku.  

“Eh iya! Ya ampun!”, sanggahku.  

“Siapa hayo?, aku yakin Gavin!”, teriak Anisa histeris.  

“Eh iya bener!”, seru Alba yang tak kalah histeris.  

“Ciee!” 

“Ciee!” 

“Ih apaan sih! Masak iya cuman ngikutin akunku berarti dia suka?”, bentakku kesal.  

“Lah? Kan buktinya emang suka beneran!”, sanggah Anisa.  

“Kamu aja tadi habis dengerin ceramahnya Gavin!”, seru Alba.  

“Ciee Elinaaa!”, teriak Anisa.  

Huffht, entah kenapa, setelah aku mengetahui akun Gavin, akhir-akhir ini aku selalu kepo tentang dia. Selalu stalking akunnya. Dan ternyata bukan hanya aku pelakunya, dia pun juga selalu aktif Dan stalking postinganku. Dalam hati aku pun bergumam, bolehkah aku menyebutnya dalam doaku nanti?  

Dulu dia bukan siapa-siapa di mataku, tapi sekarang dia terlihat istimewa.  

“Oi!” celetuk seseorang yang mengejutkanku. Ternyata Anisa lagi.  

“Eh, btw tau nggak nis?”, tanyaku.  

“Apa?”,  tanya Anisa kepo.  

“Sejak terdengar banyak rumor Gavin suka aku tuh, kakakku sekarang bener-bener marah sama aku! Dia sama sekali gak pernah njawab chat-ku!”, seruku.  

“Waduh, kok jadi cinta segitiga gini?!”, keluh Anisa.  

“Soalnya kakakku masih percaya kalau Gavin masih suka sama dia, aku jadi bimbang mau suka balik apa enggak nih ke Gavin!”, keluhku bimbang.  

“Loh kok gituh?”, tanyanya heran.  

“La gimana nis! Mereka pun dulu saling suka, tapi kenapa sekarang Gavin malah suka aku?”, tanyaku.  

“Ya begitu, hati kan sifatnya bolak-balik, udahlah lin, jangan overthinking dulu!”, sanggah Anisa.  

“Tapi nis, Gavin terlalu MasyaAllah buat aku yang agak Inalillah ini! Insecure lah!”, ujarku.  

“Kamu dan Gavin itu sama-sama baik, udah buang aja perkara insecure yang gak guna itu, aku sekarang masih mau bertekad setia sih lin, walau masih terluka parah nih hatiku!  

Anisa emang harus kuat!”, ucap Anisa ngos-ngosan.  

Aku pun hanya tertawa renyah.  

“Diterima baik sama keluarganya Gavin jugak! Kurang apalagi sih lin?! Kamu itu beruntung pakek banget tau!”, ucapnya lagi.  

Hemmm…  

“Apalagi adeknya, nge-fans berat kan sama kamu? Sampek kemarin bilang ke kamu, kamu harus sama kakakku, tunggu setahun saja setelah pengabdian, insyaallah kak Gavin bakalan dateng! Kurang apa coba!?”, seru Anisa lagi.  

“MasyaAllah, terharu juga sih aku nis!”, ucapku lirih.  

“Udah deh, kamu enggak usah lama-lama hidup nge-jomblo!”, serunya.  

“Lah kok…”, ucapku terputus.  

“Apa? Alesannya mending jadi bos muda?”, lanjut Anisa, “Halah, imanmu aja masih setengah!”, bentaknya.  

“Lah, emang kamu enggak hah?” 

“Ya sama sih!” 

“Hahahaha, kocak lu!” 

“Tetep doakan dia lin, minta yang terbaik!” 

“Iya nis!” 

                                                       ∘₊✧─♡─✧₊∘ 

{Part 2} 

“Hidup dan sebuah cobaan itu, dua pasangan sejoli yang gak dapat dipisahkan bib! Hanya pada Allah kita meminta, berkeluh kesah, dan memohon pertolongan maupun segalanya,,,”, ujar Ayah menasehatiku.  

“Iya yah, jazakumullohukhoiron, oiya ini Aku Ada janjian ke temen mau minta sumbangan ke warga buat mbantu panti asuhan yah! Aku pamit dulu ya yah!”, pamitku. 

“Siap bib, hati-hati!”, seru Ayah.  

“MasyaAllah mas Habib mau kemana tuh?”, celetuk ibuk tiba-tiba. 

“ MasyaAllah ganteng banget anak ibu pakek gamis yang itu!”, seru beliau lagi.  

“Eh ibu, pamit dulu ya bu!”, pamitku ke beliau.  

“Iya nak, hati-hati ya, emang mau ketemuan dimana?”, tanya beliau.  

“Di gang sana sih buk!”, jawabku.  

“Oh yaudah bib!”, ujar beliau.  

“Wassalamu’alaikum!” 

“Wa’alaikumussalam!” 

Ya, inilah aku, setelah aku menyadari bahwa hakikatnya dunia itu hanya fana, dan yang kekal adalah akhirat, bismillah aku melangkah ke jalan yang mungkin menurutku memang sangat nyaman, jika aku selalu berada di posisi begini. Lantunan adzan yang menenangkan, gerakan sholat yang menjadi istirahat fisik maupun batin, dan lain sebagainya tentang islam. Itu semua membuatku merasa benar-benar hidup kembali. Kini aku lebih suka disapa sebagai Habibullah, aku berharap aku berhasil menjadi impianku sekarang, menjadi kekasihnya Allah.  

Tiba-tiba segerombolan suara dentuman motor datang menghampiriku. Aku kenal nada-nada ini, ini adalah segerombolan geng-ku dulu. Gangster yang paling menakutkan di kotaku.  

“Wehhh, Gavin!”, seru seseorang.  

“Woi bos!”, seru yang lain.  

“Maksud loe masuk pondok tuh apa bro?!? Heh?!?” 

“Lawan kita sampek mati dulu sini!” 

“Mana ada leader gangster tobat hahhh?!?” 

“Stop guys! Bawa santui aja kalik!”, sanggahku tak takut sama sekali.  

“Lu yang bikin kita gak santui!” 

“Lu brengsek vin!” 

“Kita ngelawan lu, bakalan kita yang mati!” 

“Eh lu ngapain pakek peci dan gamis kayak begini?!?” 

“Jangan-jangan lo udah jijik sama circle gangster kita?” 

“Stop guys, udahlah, gua kesini mau tolong ke kalian, ayo minta shodaqoh ke warga sekitar buat bantu renovasi panti asuhan yang kemarin kena musibah kebakaran guys!Ayok bantu gua,  ayok saling bantu mereka!”, seruku kepada mereka semua.  

“Lu kira kita apaan?!?” 

Lu main-main sama kita?” 

“Lu kira kita masih mau se frekuensi sama lu?” 

“Yang ada lu malu-maluin gangster kita bro!” 

“Tangan gua udah gatel dari tadi bro!” 

“Tenang guys, kalau kita kalah gua bawa ini!”, Anton merogoh sebuah belati dari sakunya.  

“Sikat guys!” 

“Eh guys! Guys!!! Stop guys!!!” 

Mereka semua menghantamku, beribu-ribu pukulan menyerbuku, padahal mereka tetap kuanggap sebagai kawan yang kukenal. Uang shodaqoh yang kugenggam nahas dirampok mereka. Saat Aku hendak bangkit untuk melawan dan mengambil uang shodaqoh tersebut, Jlleeeeeeb!!!  

“Aaaaarrrggghhh!!!” 

Darah pun mengucur dari perutku. Tanganku menggepal menahan sakit yang luarbiasa ini. Aku bersimpuh menundukkan kepalaku.  

“Wah, wah lu parah ton!”, celetuk seseorang dari mereka yang benar-benar terkejut. Seseorang yang bernama Anton menikamku.  

“Weh kabur-kabur!!!” 

“Gak bisa dibiarin orang ini guys! Gangster kita ini tetap ada di nadi kita. Ayo bunuh dia!” 

“Mumpung sepi guys, gaskeun!” 

“Yoi dah!” 

“Eh guys! Jangan bunuh disini! Masukkin dia ke gudang markas kita aja!” 

“Ide yang bagus juniorku!” 

“Injek dulu kepalanya!” 

Bukkk!!!!! 

                                                          ∘₊✧─♡─✧₊∘ 

Gemetar di kaki makin membuatku lemas. Sukmaku seakan melayang. Rasanya tak kuat lagi menggerakkan sendi-sendiku. Tapi kawan-kawan yang sekarang kuanggap monster menyeramkan itu kian mendekat. Dengan muka menyeringai tangan mereka semua mengacungkan senjata-senjata tajam. Tangan kiriku masih saja kaku menahan belati yang masih tertancap di perutku. Kuucap bismillah lirih. Kucabut belati tersebut untuk kujadikan sebagai tameng dari mereka. Saat ku tertatih hendak berdiri, aku merasakan pusing yang sangat hebat. Dan seketika aku mendengar suara, “lari! Ayo lari!”. Darimana suara itu berasal? Reflek kakiku melangkah cepat. Tak kurasakan lagi perih di perutku. Tapi aku masih terengah-engah. Ya Allah, tolonglah hamba-Mu yang sangat lemah ini!  

Pintu di gang berhasil kuraih, setelah itu kubuka dengan sekuat tenaga. Aku sangat bersyukur, ketika kumembuka pintu ada Amarr yang mungkin sudah menungguku sejak lama.  

“Astagfirullah Gavin?!?”, teriak Amarr yang tiba-tiba muncul.  

Brukkk, setelah itu blur.  

“Gavin!!!”, teriaknya lagi.  

                                                      ∘₊✧─♡─✧₊∘ 

Di rumah sakit.  

“Vin! Gavin!”, teriak seseorang entah siapa.  

“Ya Allah…”, keluhku merintih sakit.  

“Alhamdulillah lu dah sadar vin!”, seru seseorang yang ternyata Amarr.  

“Amarr?”, tanyaku heran.  

“Lu istirahat aja dulu vin, ini gua udah hubungi keluarga lu!”, ujarnya.  

“Astagfirullah…”, keluhku lagi.  

“Udah istirahat aja dulu! Lu hampir kehabisan darah bro! Lu kenapa? Lu ketemuan sama geng-geng lu? Kan gua udah bilang, lu gak bakalan diterima kayak dulu bro, penampilan lu aja udah berubah drastis!”, serunya gak jelas.  

“Diem lu mar! Tambah pusing gua dengerin ocehan lu!”, seruku juga. Walau suaraku terdengar agak lemah, tapi masih bisa bersuara.  

“Yaudah istirahat dulu bro!”, serunya lagi.  

Kuhembuskan nafas perlahan.  

“Mar, besok gua ada jadwal ngajar kajian, bismillah besok gua dah sembuh!”, seruku.  

“Halah, sekarang lu fokus nyembuhin diri lu dulu, soal itu gampang!”, sanggahnya.  

“Gantiin gua kalo gitu!”, perintahku.  

“Ogah lah!”, jawabnya cepat.  

“Astagfirullah, perut gua diperban malah tambah sakit, kalo gua gak bisa njaga diri, gimana besok gua njaga si dia ya rabb!”, keluhku.  

“Kocak, kocak, vin vin, lu di posisi kek begini masih aja sempet mikirin dia-dia!”, seru Amarr sambil geleng-geleng.  

“Yaiyalah gua kok”, ucapku sambil tersenyum.  

“Sebenernya siapa sih yang lu incer vin? Si Rahma?”, tanyanya.  

“Enggaklah, gua udah berhasil moveon, dia memang bukan yang tepat menurut gua!”, seruku.  

“Lah? Why?”, tanyanya.  

“Dia gak bisa nerima masa lalu gua, ya memang kelam sih, tapi seorang Umar bin Khattab yang dulu benci dengan islam aja, setelah masuk islam, Allah aja langsung luluh ke beliau, la masak kita yang seorang hamba tidak bisa memaklumi?!”, jawabku.  

“Iya sih vin, btw lu kok sempet-sempetnya cerita panjang kali lebar gini? MasyaAllah, kocak banget!”, sanggahnya.  

“Gua kan mental strong!”, ujarku.  

“Huh sombongnya! Oiya, siapa inceran lu?!”, tanyanya memaksa.  

“Lu siapa dulu kok!”, tanyaku balik.  

“Kalo gua mah, mantep alhamdulillah, dia juga suka gua, bahagia banget rasanya!”, jawabnya.  

“MasyaAllah, emang siapa?”, tanyaku.  

“Rahasialah, udah-udah!”, ujarnya.  

‘Huffht, saat rindu, aku hanya bisa mendoakanmu dalam doaku…’, batinku.  

“Eh,gua kan udah bilang vin, sampein ke dia! “Kayak gua ini, dan untungnya diterima, mantep!”, ujar Amarr.  

Tiba-tiba…  

“Ya Allah Habib!!!”, teriak ibu sambil menangis.  

“Ibu!”, seruku.  

“Bib, gimana kabarmu?”, tanya Ayah tiba-tiba.  

“Alhamdulillah, mendinganlah yah”, jawabku.  

“Jazakumullohukhoiron ya mar, sudah nolong anakku”, seru ibu ke Amarr.  

“Iya bu, aamiin”, jawabnya.  

Seminggu kemudian. 

Alhamdulillah lukaku telah pulih total, aku sudah bisa pulang ke rumah. Pasalnya, di hari ketiga aku kekurangan darah saat masih dirawat di rumah sakit. Jadi karena itu, aku  diundur pulang. Setelah seminggu, Alhamdulillah semuanya kelar. Masih terngiang kelata Amarr kemarin, sampein kalo lu suka!  

Sebenarnya Amarr sudah lama menyuruhku untuk mengungkapkan semua hal yang kurasa ke dia, namun menurutku jika rasa ini tersembunyi lebih indah, mengapa harus memilih terlihat? Dan jika menjauh lebih terjaga, mengapa harus memilih mendekat?Cukup Allah Yang Maha Tahu mendengar keluh doaku. Biar kusimpan rapi rasa ini, dan tertatalah cita di dalam hati. Kusimpan semuanya karena Allah, walau dera selalu menyapa di setiap langkahku.  

Kuulumkan senyum saat melihat postingan si dia di instagram. Setelah beberapa lama aku mengikutinya, aku sering stalking akunnya. Ternyata dia cat lovers.  

“Lah!?!”, celetuk seseorang.  

“Eh bro!”, sahutku, yang ternyata Amarr.  

“Baru aja tadi pagi lu keluar rumah sakit, lu udah mau berangkat njaga panti?”, tanya Amarr.  

“Iyalah mar, sebentar lagi kan udah balik ngajar di pondok lagi!”, jawabku.  

“Terus? Habis ngabdi lu mau ngapain?”, tanyanya.  

“Gua ma gak kaya lu yang mau merid, gua nyari cuan dululah, nafkahin anak orang gak boleh sembarangan!”, seruku.  

“Weh, sip-sip!, woi kita tuh se-frekuensi!, ogah nikah langsung!”, sanggahnya.  

“Iya bro!”, seruku.  

‘Tunggu aku Elina, tunggu aku untuk menyempurnakan imanku dan imanmu. Semoga kita kelak bisa melangkah bersama sampai besok ke Jannah-Nya.  

Aamiinku yang paling serius.’ 

                                                          ∘₊✧─♡─✧₊∘ 

{Part 3} 

“Elina!” 

“Eh, Anisa!” 

“Eh Alba!” 

“Pa kabar guys?!” 

Kamipun hanyut dalam cengkrama kita masing-masing dalam video call. Semua telah menempuh kehidupan yang telah lama diinginkan.  

Alhamdulillah dua tahun sudah, maka selesailah pengabdianku. Aku dan teman-temanku semua telah berpisah. Tetapi lucunya, aku masih menyimpan rasa ini untuknya. Gavin dan senja.  

Entah mengapa, di kala aku memandang senja, aku selalu mengingatmu. Itu mungkin karena kamu rupawan laksana senja. Dan mungkin itu juga menggambarkan sosokmu yang hanya sekilas aku melihat dirimu dulu. Senja pun juga begitu, ia hadir hanya sebentar, tapi dia selalu berjanji akan kembali. Semoga kamu juga begitu Gavin.  

Kita semua tidak pernah tau kepada siapa akhirnya hati ini akan berlabuh, tapi kita semua bisa memilih siapa yang layak untuk kita perjuangkan dengan seluruh hal yang kita miliki. Perjuangan doa di jalur langit. Dan kini, akan kubiarkan senja itu merindu.  

Sekarang fokus ke diri sendiri aja dulu.  

Kututup kisahku dengan sebuah renungan untuknya, semoga suatu saat kamu dapat membacanya…  

Kala hari di suatu Sabtu 

Aku menyusun aksara indah di atas buku.  

Buku yang tertulis padanya beriringan dengan serat-serat waktu. 

Di dalamnya tertera huruf-huruf rindu. 

Waktu kini telah berupaya menopang indahnya cita supaya kita dapat bertemu. 

Semoga penantian ini tak kunjung semu.  

Dan ku pertegas lagi, biarlah senja merindu.  

∘₊✧─♡─✧₊∘ 

“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha bilmahri haallaan… “ 

“Alhamdulillah…”, senyumnya pun merekah… ‘MasyaAllah… ‘ 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top